Friday 19 June 2015

#31 Achievement Unlocked

Akhirnya post dengan tagar #31 keluar juga.
Terharu, senang, sedih, jadi satu.
Jangan dianggap lebay, ya.

Dari awal mengumpulkan niat dengan susah payah untuk mengikuti #31HariMenulis.
Akhirnya mendaftar tepat beberapa menit sebelum pendaftaran ditutup.
Lalu deg-deg an. Mengapa?
Karena saya tahu saya susah banget berkomitmen untuk menulis.

Tetapi, akhirnya berhasil juga nulis entry sebanyak tiga puluh satu kali tanpa sempat bolong sekalipun.
Walaupun terkadang isinya kurang bermutu, tapi saya cukup senang.
Bisa menuangkan emosi dalam tulisan.
Curhatan dan khayalan yang mungkin entah saya salurkan di mana kalau tidak di sini.

Terima kasih, #31HariMenulis.
Telah mengajarkan saya menjadi anak Komunikasi beneran.
Telah "memaksa" saya menjalankan komitmen.

Terima kasih, Bang Wiro dan Para Selir
yang rela mengecek tulisan tengah malam.
Semoga setelah ini tidak begadang lagi.

Cium cinta untuk kalian.

Thursday 18 June 2015

#30 Rumah Keong

Andai pacar itu seperti rumah keong
Selalu ada, selalu dekat
Ketika ada masalah di luar, tinggal berlindung saja
Masuk, ndusel

Andai pacaran itu seperti berada di rumah keong
Tidak berlebihan, namun juga tidak kurang
Tepat dan pas
Nyaman

Andai putus dari pacar itu seperti berganti rumah keong
Kalau tidak cocok, tidak sakit untuk ditinggalkan
Tidak meninggalkan luka
Lebih baik

Ah
Tapi tidak ingin pacaran serapuh rumah keong
Sekali diinjak, hancur


Wednesday 17 June 2015

#29 Ngide

Sebenarnya saya belum bisa dikategorikan sebagai "Anak Komunikasi yang doyan nugas sampai malam" jika dibandingkan dengan teman-teman dari konsentrasi Media dan Jurnalisme. Namun, beberapa kali juga saya dan teman-teman melembur tugas sampai malam untuk tugas beberapa mata kuliah di Strategis. Beberapa yang paling sering yakni untuk tugas kelompok Perencanaan Media dan Strategis (PMI).

Entah mengapa mata kuliah ini menjadi begitu menyenangkan di mata kami, apalagi bagi mereka yang sangat berminat di bidang advertising. Oleh karena itu, kami selalu berusaha untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan semaksimal mungkin, bahkan mengerjakan hingga larut malam. Terlalu larut, malah.

Tahukah bagian paling sulit dalam mengerjakan tugas PMI? Bedah brief, lalu brainstorming atau ngide. Sungguh, menghantarkan dari brief menjadi suatu campaign bukanlah hal mudah dan terkadang mengundang kami, manusia-manusia laknat ini, untuk melakukan hal-hal bodoh.

Hari Rabu (10/6), kelompok PMI saya yang bernama Upadios (iya, namanya lucu) sok ide dengan niat mengerjakan UAS PMI di rumah salah seorang anggota kelompok, Gora. Biasanya selalu berkumpul di malam hari, kali ini sudah sok ide lagi dengan menentukan waktu berkumpul yang lebih awal. Eh, ternyata tetapi malam kumpulnya alias pada telat. Dasar.

Sudah berkumpul, tidak segera mengerjakan tugas, kami malah bertukar lagu, berguling-guling, menonton Master Chef, menghujat juri-juri Master Chef. Bodoh dan lapar, kemudian kami mengutus El untuk membeli nasi goreng, sebenarnya sekalian dia keluar untuk bertemu orang, sih. Sebelum nasi goreng datang, kami berusaha ngide sekuat pikiran untuk menemukan campaign. Namun gagal, perut lapar. Eh tiba-tiba sudah jam 12 saja. Nasi goreng datang, kami makan. Makan selesai, kami mengantuk. Ide belum ketemu. Ketiduran di lantai, besoknya lelah. Badan pegal, pulang.

Baru saja tadi malam, Selasa (16/6) kami ngide lagi, kali ini di kampus. Sudah berputar-putar hingga berjam-jam, namun belum juga menentukan campaign apa yang akan digunakan. Bahkan sampai berputar-putar kampus, ke toilet berkali-kali, mengunjungi kelompok lain, hingga foto chipmunks di laptop. Kemudian lapar lagi, lalu malah ke burjo, tercetus beberapa ide, namun bingung eksekusinya. Kemudian kedinginan, pulang.

Agak tidak jelas, memang. Tetapi, ngide tidak semudah kelihatannya. Perlu usaha memeras keringat, pikiran, bahkan kantong.

Satu hal yang sangat saya suka dari kelompok PMI ini adalah, sekeras apapun kami berpikir, selama apapun kami ngide, sebodoh apapun ide yang kami cetuskan, kami selalu berusaha untuk memikirkannya bersama-sama. Menyatukan ide, gagasan, perasaan. Menyenangkan.

Hingga saat ini saya menulis entry, ketahuilah bahwa kami masih berada di coffeeshop andalan di Jalan Kaliurang sambil mengejar deadline yang tinggal 14 jam lagi. Semoga kami berhasil.

Upadios (minus Elrepyan)




Tuesday 16 June 2015

#28 Manusia Kode

Manusia wanita suka sekali menyampaikan sesuatu dengan kode, yang dimaksud kode di sini adalah isyarat, baik verbal maupun tidak, untuk menyampaikan maksud/informasi yang sebenarnya.

Misal:
Maksud: "Jemput aku, dong."
Kode: "Belum tahu, nih, pulang naik apa."

Maksud: "Makan, yuk."
Kode: "Laper, sih. Tapi gampang, deh."

Maksud: "Dingin, pinjemin jaket."
Kode: *gosok-gosokin tangan*

dan lain-lain,
dan sebagainya,
dan seterusnya.

Entah mengapa wanita lebih sering menyampaikan lewat kode alih-alih berterus terang. Gengsi? Malu? Tidak enak hati?
Saya sendiri sebagai wanita terkadang masih bertanya-tanya.
Padahal, yang namanya kode dari komunikator belum tentu ditangkap dengan benar oleh komunikan.
Salah satu noise yang paling sering terjadi: komunikan yang tidak peka.
Pasti tahu, kan, siapa yang sering dianggap tidak peka? Pria.

Pria ingin menerima informasi secara jelas dan lugas, bukan berupa kode.
Padahal, sekali lagi, wanita suka sekali bermain kode.

Begitu saja terus, sampai Metallica bikin album religi.


Monday 15 June 2015

#27 Andai Hanya Ada Satu Sudut Pandang

Andai semua orang melihat sesuatu dari perspektif yang sama
Tak ada perdebatan
Tak ada yang dianggap benar dan yang dianggap salah
Akankah dunia menjadi lebih tenang dan damai?

Atau
Akankah kreativitas terpasung?
Terpenjara dalam keterbatasan
Karena tak ada yang lebih dan yang kurang

Entahlah
Tulisan yang tidak jelas
Anggap saja sedang melantur sambil mendengarkan Imagine dari John Lennon

Sunday 14 June 2015

#26 Mimpi

Mimpi digigit dinosaurus
Dinosaurusnya tidak punya gigi

Mimpi makan buah apel
Warnanya ungu dan terasa pahit

Mimpi dapat 5 miliar
Uangnya dari daun

Mimpi jadi princess 
Pangerannya kodok

Mimpi pergi ke Dufan
Kok adanya kolam bola

Mimpi mengerjakan tugas take home
Ternyata UASnya batal

Saturday 13 June 2015

#25 What We Talk About When We Talk About Women

Wanita selalu ingin dimengerti. Minta A harus diberi A, minta B harus diberi B. Apabila minta A lalu yang diberikan A-, jangan tanya apa yang akan terjadi.

Wanita moody setengah mati. Sedetik ingin A, detik berikutnya ingin B. Bergonta-ganti sesuka hati, tetapi tak ingin dipertanyakan konsistensi.

Wanita selalu ingin menang sendiri. Meskipun salah, tetap enggan untuk mengakui. Tak mau disalahkan.

Wanita mudah sakit hati. Terlalu sensitif, terlalu perasa, terlalu drama. Kesalahan kecil bisa menjadi luar biasa besar.

Tetapi,

Wanita sabar dan penyayang. Tak peduli berapa kali harus memaafkan, berapa lama harus menunggu, agar tak kehilangan.

Wanita perasa dan mudah mengerti. Tak perlu berpanjang kata, cukup ekspresi kecil sederhana. Wanita peka dan memahami.

Wanita rela berkorban. Mengabaikan ego dan gengsi, demi sesuatu yang dicintai. Merasa nyaman menyakiti diri sendiri.

Wanita mudah percaya. Entah berapa kebohongan dan ingkar janji, wanita akan bertahan. Meyakini apa yang dipercaya.

Jika wanita sudah seperti ini, masih tega untuk menyakiti?

Friday 12 June 2015

#24 Pain Demands to be Felt

Tadi siang saya baru saja melakukan operasi ringan di mata. Bahasa medisnya: operasi minor dengan dilakukannya insisi. Penyebabnya sederhana saja, bintitan atau hordeolum. Tidak keren, ya.

Sebenarnya saya enggan sekali melakukan operasi ringan ini. Sungguh saya tidak suka bau rumah sakit, saya benci obat dan jarum suntik, serta mual melihat darah. Namun, mau bagaimana lagi, sepertinya hordeolum ini tidak akan hilang dengan sendirinya tanpa dilakukan insisi.

Tiga hari yang lalu (Selasa) saya telah melakukan kontrol dengan dokter untuk melihat kondisi kelopak mata serta kapan sebaiknya tindakan (insisi) dilakukan. Tercapai kesepakatan bahwa operasi akan dilakukan pada hari Kamis. Kamis pagi saya datang ke rumah sakit dan ternyata dokter belum siap, kemudian diundur menjadi hari Jumat. Kalau kata orang Jawa, sih, gonduk. Sudah siap-siap dan berdebar-debar, eh ternyata tidak jadi operasi. Ya sudah.

Lalu tibalah hari ini. Sebelumnya saya telah bertanya pada beberapa orang yang pernah melakukan operasi yang serupa. Pertanyaan saya sama: apakah terasa sakit? Pertanyaan bodoh, sebenarnya. Tentu saja sakit, namanya juga operasi. Namun, jawaban yang saya dapat beragam, ada yang mengatakan tidak sakit, ada yang mengatakan sakit ketika dibius saja, ada juga yang mengatakan sangat sakit. Saya berusaha untuk positive thinking dengan bersugesti bahwa operasi ini tidak akan sakit.

Ditemani Mama, saya berangkat ke rumah sakit dan melakukan pendaftaran. Mulai panik. Eh ternyata masih menunggu dulu satu setengah jam karena dokternya tak kunjung dipanggilkan. Paniknya jadi bertahan cukup lama. Mengesalkan.

Masuklah di Ruang Bedah yang sangat dingin, lalu disterilkan. (Btw, namanya serem juga, ya, Ruang Bedah, seperti operasi besar saja.) Kemudian dokter masuk dan operasi pun dimulai.

Diawali dengan pertanyaan, “Sakit sedikit tidak apa-apa, ya? Hanya waku disuntik.” Saya diam saja. Pasien yang menyebalkan, mungkin. Tetapi, saya diam karena takut dan tegang, bukan karena enggan menjawab. Maafkan saya, Dok.

Kedua kelopak mata saya dibuka lebar dan saya diminta untuk melirik ke atas, kemudian…. Cussss. SIALAN. DISUNTIK BEGINI SAJA SAKIT BENAR, SIH.

Kemudian mata kanan saya mulai mati rasa dan dokter melakukan pembedahan untuk mengambil benjolan di kelopak mata. Masih terasa linu walaupun sudah diberi obat bius. Saya menahan sakit dengan mencengkeram erat kedua tangan saya yang saling bertautan, sepertinya dokter merasakan kegelisahan saya dan berkata, “Tidak apa-apa, ini mau selesai, tidak sakit.” Tidak sakit. Tidak sakit.

Rasanya ingin menangis dalam hati. Eh menangis sungguhan juga boleh, tapi gengsi. Mungkin hanya satu atau dua menit dokter melakukan pembedahan. Tetapi, sungguh, itu adalah dua menit terlama dalam hidup saya.

Setelah linu yang panjang, operasi selesai. Mata saya ditutup dengan kasa steril dan kapas. Saya kira kecil, ternyata sangat besar dan mengganjal. Setelah itu, mata saya terus terasa kaku dan pedih. Hingga sampai saat saya menuliskan entry ini, masih terasa sedikit linu walaupun sudah tidak berdarah dan telah dikompres dengan air hangat serta diberi salep antibiotik. Mata kanan saya masih harus ditutup kira-kira sampai 12 jam kemudian tetap diberi salep antibiotik dan antibiotika oral (obat diminum).

Sungguh saya tidak menyangka operasi kecil untuk bintitan saja akan terasa seperti ini. Entah saya yang berlebihan, tetapi ini adalah operasi pertama saya. Hanya operasi ringan, tetapi cukup sakit juga ternyata. Beberapa kali saya mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan beraktivitas seperti biasa. Namun sayangnya, mata saya belum bisa berfungsi dengan optimal sebelum perban ini dilepas. Tentu saja, masih terasa linu dan pedih walau sudah beberapa jam sejak pembedahan dan saya berusaha mengabaikan rasa sakit tersebut.


Tetiba teringat kalimat dari novel The Fault in Our Stars karya John Green (2012), “That's the thing about pain, it demands to be felt.” Sakit menuntut untuk dirasakan. Benar sekali. Semoga esok hari sudah baik-baik saja sehingga saya bisa mengerjakan UAS take home yang rindu belaian.

Oi.

Thursday 11 June 2015

#23 Tidak Apa-Apa

Wanita sering mengatakan "tidak apa-apa", terutama pada pria
Padahal sebenarnya sangat "apa-apa"
Tidak ingin merepotkan, katanya
Malas berdebat, katanya
Lebih baik diam saja, katanya

Pernah saya membaca suatu meme di internet, kira-kira begini bunyinya
"Jika 'tidak apa-apa' dibalas dengan 'ya sudah',
maka terjadilah perang dunia ketiga."
Menggelikan.

Sungguh saya senyum-senyum sendiri membaca kalimat tersebut
Benar juga, ya
Terkadang yang terucap di bibir sangat berbeda dengan isi hati sebenarnya

Bilangnya tidak ingin merepotkan, padahal sangat ingin diperhatikan
Bilangnya malas berdebat, padahal sangat butuh kejelasan
Bilangnya lebih baik mengalah, padahal tidak pernah mau disalahkan

Tetapi, mau bagaimanapun kondisinya, dibungkus dengan kata "tidak apa-apa"
Selanjutnya biarkan pria menerjemahkan
Tidak apa-apa

Wednesday 10 June 2015

#22 My Precious


Dulu, saya seringkali merasa iri dengan teman-teman yang mendapat peringkat di kelas lalu dihadiahi ponsel, atau masuk kuliah lalu diberi mobil oleh orang tuanya. Kalau saya tanya ke mereka, jawabannya, "Iya dikasih Papa, soalnya dia seneng banget aku dapet ranking." Sedangkan saya, jangankan diberi, mau minta saja mikir dulu.

Saya sempat beberapa kali cukup berprestasi di kelas, tapi sepertinya kok tidak diberi gadget-gadget terbaru seperti ponsel, laptop, kamera, dan sebagainya. Ketika saya keterima di UGM juga tidak ada perubahan yang signifikan pada barang-barang saya. Lalu jadi kepikiran, apa Papa Mama tuh nggak bangga, ya, punya anak seperti saya? Kalo senang dan bangga, kok saya tidak diberi apa-apa???" Kalau saya berprestasi, mereka cuma senyum/peluk dan bilang, "Selamat, ya." Udah.

Tapi, kemudian saya sadar...
Kalau saya main ke kantor Mama, teman-teman kantornya pasti bilang, "Aduh, ini Sela yang aksel, ya? Masih muda udah kuliah, dong."
Kalau lagi jalan sama Papa lalu bertemu temannya, beliau mengenalkan dengan, "Ini anak saya yang tengah, sekarang di UGM ambil Komunikasi."
Demikian juga kalau ke kampung halaman Papa di Kebumen, bahkan tetangga-tetangga eyang saya tahu prestasi saya yang sebenarnya belum seberapa.

Artinya?
Yap. Mama cerita ke teman-temannya tentang saya. Papa cerita ke Mbah Kakung tentang saya. Orang tua saya banggain saya di depan orang lain, padahal saya hanya begini.

Mungkin masuk aksel gampang, semua orang bisa, tapi saya tau orang tua saya bangga.
Mungkin masuk UGM gampang, cuma Ilmu Komunikasi, semua orang bisa, tapi saya sadar orang tua saya bangga.
Mungkin cara setiap orang mengekspresikan kebanggaan tersebut berbeda.
Mungkin saya tidak mendapat ponsel, laptop, atau barang-barang canggih lainnya. Tapi, saya mendapatkan senyum mereka.

And you know what?
Their smiles... It's priceless.
And I'm really grateful for what I've got.

Tuesday 9 June 2015

#21 Kopi Cinta

Saya cukup menyukai kopi, meskipun bukan seorang coffee-addict
Saya suka aroma dari biji kopi, menenangkan dan menetralkan
Saya suka meminum segelas kopi, dengan beragam cara meracik
Americano?
Affogato?
Latte?

Bagi  saya, minum kopi itu rasanya sama seperti jatuh cinta
Kafein membuat jantung kita berdebar lebih kencang dari biasanya
Menahan kantuk lebih lama dari biasanya

Bukankah sama seperti kita yang sedang jatuh cinta?
Jantung berdebar lebih kencang ketika berpapasan
Tidak dapat tidur di malam hari, terus terbayang-bayang

Menarik juga, ya
Bagaimana kopi bagimu?

Monday 8 June 2015

#20 Future Blind

Manusia buta terhadap masa depan
Hanya bisa mereka-reka dan berusaha
Tanpa tahu pasti apa yang akan terjadi
Bahkan, peramal bisa salah, bukan?

Masa depan penuh ketidakpastian
Baik atau buruk, akan berubah-ubah
Tergantung usaha manusia
Apa yang kita lakukan sekarang menentukan masa depan

We know nothing about future
We can only learn from the past
Struggling in the present
Just to reach a better future

Namun, sekarang saya sadar
Mengapa Tuhan tidak mengizinkan kita melihat masa depan
Bagaimana satu ketidaksempurnaan tersebut
malah menjadikan manusia begitu sempurna

Karena kita akan berhenti berusaha, jika kita sudah tau bagaimana sesuatu akan berakhir.

Sunday 7 June 2015

#19 Payung

Hujan membuat kita terjebak di tempat ini. Semula hanya ingin membeli segelas bubble tea, sekarang malah berada di antara rak piring dan gelas di retailer barang-barang rumah tangga ini. Hhhh. Aku hanya dapat menghela napas. Ini semua salahmu, tentu saja, yang bersikeras tak ingin parkir di basement dengan alasan ribet dan memaksaku parkir di seberang mall yang jaraknya lumayan jauh.

“Jiiii, lucu banget gelasnya astaga”, ujarmu sembari mengangkat gelas bergambar Lilo.

“Yaelah, Ra, lo kan udah punya banyak banget gelas begituan dan ga pernah dipake.”

“Eh, kerak wajan, ini gelas buat dipajang kali bukan buat dipake minum, ih”, sahutmu gemas sambil mencubit lenganku.

“ADUH. Ga usah pake cubit-cubit kenapa sih elah bikin kesel aja. Gara-gara lo nih kita malah muter-muter di sini. Lo kan tau gue ada rapat jam 4, sekarang malah di sini gegara lo seenak jidat nyuruh gue parkir di depan. Itu kan jauh, Ra, mana sederes ini kita ga bawa payung, mana bisa jalan balik ke mobil”, omelku panjang lebar.

“Yang Mulia Fauzi Irawan, oh sungguh maafkan hambamu ini yang hina dan hanya mementingkan kepentingan hamba”, makhluk menyebalkan ini memandangku dengan mata memelas dan tangan dikatupkan di dada dengan dramatis. Aku hanya memandangnya dengan kesal sedetik, dan akhirnya tak dapat membendung tawaku. Mata itu selalu berhasil mengalahkanku.

“Lebay deh, Ra. Emang dasar lo orang paling drama dan ngerepotin sedunia raya. Beli bubble tea aja musti di mall.

“Yeee, ini bubble tea paling enak, tau. Makanya jangan ngopi mulu, gatau minuman lain yang enak, kan” jawabmu tak mau kalah sembari menjulurkan lidah, kemudian menyeruput gelas bubble tea itu dan berjalan dengan girang beberapa langkah di depanku.

Aku hanya tersenyum dan memandang punggungnya. Ah, Rara. Dari sini, rambut hitam sebahunya terlihat memesona, masih sama seperti 9 tahun lalu ketika aku melihatnya dalam balutan seragam putih abu-abu. Bahunya masih sama, kecil namun tegas, ada bisikan entah dari mana untuk merengkuh bahu itu dan menjaganya dalam genggamanku. Sedetik kemudian aku tersadar dan mengenyahkan pikiran bodoh itu. Astaga, apa yang kupikirkan.

“Ji, ngapain lo? Nunggu jodoh jatuh dari langit?” serunya dari ujung lorong.

Aku segera menyusulnya. Kami terus berjalan hingga melewati beberapa lorong berisi barang-barang rumah tangga lainnya. Di balik lorong figura dan jam dinding, terdapat rak kecil berisi payung berbagai macam motif.

“Eh, mending kita beli payung deh biar bisa buruan balik, gimana?” ide brilian untuk membeli payung muncul begitu saja dari otakku.

“Hah? Beli payung banget? Oji, payung di sini tuh harganya 200 rebu. Bisa buat beli bubble tea berapa gelas coba? Udah ga usah”, sahutmu sambil membolak-balik payung-payung yang ada di rak.

Bubble tea mulu pikiran lo. Lihat deh motifnya, lo pasti suka kan? Udah pilih aja gue yang bayarin deh, gue tau kan lo lagi seret.”

“Eh dasar tudung saji. Gini ya, Ji, gue kasih tau. Payung tuh cuma dipake di keadaan darurat aja, yang genting gitu. Kalo hujannya gerimis rintik-rintik doang lo males kan pake payung? Kalo ada hujan deres, baru lo pake payung. Lagian lo kan naik mobil nih, jadi ga perlu jalan kepanasan yang musti pake payung.
Yaaa meskipun motif payung tuh bagus dan sebenernya gue suka, tapi tetep aja payung cuma dipake kalo hujan. Motif bagusnya cuma bisa ditunjukin waktu hujan, di mana kadang orang malah in a rush dan ga merhatiin motif. Ya kali jalan-jalan ke mall pake payung kan ga lucu. Jadi gue rasa payung tuh ga penting-penting banget. Cuma kebutuhan sekunder atau tersier malah, yang lo pake dalam keadaan tertentu doang. Ngerti?”

Aku hanya tertegun.

“Malah diem aja, lo kepikiran rapat banget apa? Yaudah deh, yuk balik”, ujarmu seraya menggeretku keluar.

Bukan, Rara. Aku terdiam bukan karena rapat. Namun, karena aku sadar seperti apa makna diriku bagimu. Seperti payung. Ya, payungmu.

Payung yang hanya digunakan di keadaan tertentu dan genting, seperti sekarang. Di mana aku menjadi pilihan keduamu ketika kekasihmu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya. Atau ketika kau menangis mendapati pesan mesra dari wanita lain di ponselnya. Atau ketika keningmu bengkak akibat pukulan tangannya. Kau selalu datang kepadaku, ketika kau membutuhkan seseorang untuk bercerita. Kau selalu datang kepadaku untuk berbagi keluh kesah. Kau selalu datang kepadaku, dalam keadaan darurat dan genting.

Payung yang bermotif indah, namun tidak dapat ditunjukkan dan jarang diperhatikan. Apakah aku juga seperti itu? Menarik bagimu, namun tidak untuk kau tunjukkan kepada banyak orang seperti saat kau dengan kekasihmu. Aku, yang sebenarnya selalu ada saat kau butuhkan, tapi tak pernah menjadi perhatian.

Payung yang bukan kebutuhan primer, tidak terlalu penting. Ya, sama persis denganku yang tak pernah menjadi yang pertama bagimu. Tak pernah benar-benar menjadi hal penting bagimu. Tak peduli seberapa besar aku menginginkan hal itu.

Kini aku sadar, Ra. Entah seberapa besar aku menjadi payungmu, aku tetaplah aku, yang hanya kau cari ketika dalam gundah, yang tak pernah kau banggakan, yang bukan menjadi prioritas. Namun, entah seberapa sering menjadi payung bagimu, aku tak pernah lelah, dan sepertinya akan terus begitu. Mungkin hingga hujan terlalu deras tanpa henti sehingga kau sadar betapa kau membutuhkanku.


“Ya ampun, Ji, ternyata hujannya masih deres banget! Tau gitu tadi beli payung!”

Saturday 6 June 2015

#18 Untuk Kebaikan yang Lebih Besar

Semua orang selalu berusaha memilih yang terbaik. Untuk siapa? Bisa jadi untuk dirinya, atau mungkin untuk orang yang dicintai, dihormati, diseganinya, bahkan mungkin untuk hal-hal yang memiliki urgensi. Bukankah begitu? Kita disodori pilihan-pilihan yang kadang membingungkan, dan beberapa situasi memaksa kita untuk memilih satu yang (dianggap) terbaik. Dalam situasi seperti itu, akankah kau memilih yang paling menguntungkan bagi dirimu? Atau akankah kau bersedia mengorbankan dirimu untuk kepentingan lain?

Tidak mudah untuk dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berat. Tentu saja, kita harus memilih dengan mempertimbangkan skala prioritas, bukan? Priority, one does not simply. Naluri manusia menyusun skala prioritas dari mana? Logika atau perasaan. Plot twist: logika dan perasaan sering tak sejalan. Yang diagungkan perasaan terkadang disepelekan oleh logika, demikian sebaliknya. Perlu diingat bahwa posisi keduanya seimbang. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk.

Beberapa di antara kita cukup cerdas untuk memilih berdasarkan logika, sedangkan sisanya cukup baik hati untuk memilih berdasarkan perasaan. Namun, menyedihkan apabila pilihan yang diambil bukanlah apa yang benar-benar diharapkan. Bagaimana jika kita dituntut untuk memilih berdasarkan logika, sementara perasaan tidak setuju? Tetapi, tentu saja, semua pilihan yang kita ambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Antara logika dan perasaan terkadang memberikan pilihan yang baik bagimu, namun tidak bagi orang di sekitarmu, demikian sebaliknya.

Ya, dalam hal-hal tertentu kita dipaksa memilih. Tidak hanya memilih menggunakan logika atau perasaan, tetapi juga memilih mana yang memiliki pengaruh lebih baik, entah bagimu atau bagi semua orang. Jika kita memilih yang terbaik untuk diri sendiri, apakah kita harus mengorbankan kepentingan lain? Jika kita memilih untuk kebaikan bersama, apakah akan mengorbankan diri kita sendiri? Entahlah.

Yang pasti, pilihan-pilihan yang kita ambil adalah yang (diharapkan) paling bijaksana. Jangan disesali, karena pilihan yang (dianggap) bijaksana memiliki pengaruh yang lebih besar.

Friday 5 June 2015

#17 Komitmen

Ada satu hal yang sangat berarti
Yang sering dilupakan
Tetapi, sebenarnya sangat dibutuhkan

Bukan, bukan harta
Bukan juga tahta
Apalagi wanita

Banyak dicari, namun jarang disebutkan
Padahal, melancarkan banyak hal
Meringankan hambatan

Bukankah semua akan lebih baik
Jika manusia memiliki komitmen?

Thursday 4 June 2015

#16 Jatuh Tujuh Kali, Bangkit Delapan Kali

Ada sebuah tulisan terjemahan peribahasa dari Jepang, kira-kira begini bunyinya:

"Jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali."

Kalimat sederhana, tetapi, ketika membacanya, saya merasakan nilai yang luar biasa. Itu merupakan dukungan dan semangat untuk selalu bangkit dari kegagalan. Entah berapa banyak kita dikalahkan oleh kegagalan, kita tetap harus menang melawannya. Kita bisa gagal dalam sebuah hasil atau perkara, tetapi, kita tak boleh gagal dalam melakukan perjuangan.

Selain itu, saya sadari bahwa tiap orang sangat benci dan takut akan kegagalan. Hal itu dekat sekali dengan yang namanya kewaspadaan tinggi terhadap sesuatu. Terlebih lagi, ketika kita sudah nyaman pada suatu hal, kita cenderung untuk tetap selalu melakukannya. Kita takut berubah, karena kita takut, perubahan tersebut dapat memicu sebuah kegagalan. Terlalu nyaman pada suatu titik, sampai kita tidak bisa melihat titik lain yang lebih baik, karena kenikmatan dari titik semula.

Kita sering berada di titik yang baik. Titik yang okay. But, okay is not good, okay is not fantastic, okay is not great. Kita harus selalu berusaha melebihi limitation yang kita miliki. Itu terjadi pada tiap orang. Menurut saya, itu adalah hal yang wajar.

Seperti kata Billy McMahon (real name: Vince Vaughn) dalam film The Internship,

"We are all creatures of habit. We like what we know, there is no question about it. But, you know what the scariest thing in life is? The thing in life that frightens us the most? Change. I can't blame you for being a little afraid. Hell, we were scared for a long time out there, grinding it out. And Lord knows I've fallen on my ass more than a time or two. But, I promise you something. You lift your head up, and take a breath, there are a lot of great possibilities out there."

See?
Film dibuat karena ada sebuah inspirasi. Inspirasi muncul karena ada sebuah bukti. Jadi, pasti ada bukti bahwa keberhasilan dari semangat dan perjuangan untuk selalu lebih baik itu benar adanya.

Silakan mencoba. Hidup itu pilihan.
Ingin menjadi jelek, biasa saja, atau mengagumkan?

Wednesday 3 June 2015

#15 Prioritas

Ketika dihadapkan pada dua pilihan, mana yang lebih diutamakan?
Ketika harus memilih antara menemani pacar yang sakit atau rapat HM, pilih yang mana?
Tentu saja sudah tahu jawabannya.
Yang paling penting, katanya.
Yang menjadi prioritas, katanya.

Prioritas?
Apakah yang genting selalu diprioritaskan?
Bagaimana indikator untuk dijadikan prioritas?
Tingkat urgensi?

Terkadang manusia mengatasnamakan kepentingan agar didahulukan.
Manusia, dengan egoisnya, selalu ingin diprioritaskan.
Dijadikan nomor satu.

Tuesday 2 June 2015

#14 Tentang Kesalahan

Manusia (yang tulus) akan memaafkan kesalahan
Manusia (yang gigih) akan berusaha memperbaiki kesalahan
Manusia (yang bijak) akan belajar dari kesalahan
Manusia (yang cukup pintar) tidak akan mengulang kesalahan yang sama
Manusia (yang naif) akan melupakan kesalahan
Manusia (yang bodoh) akan mengulang kesalahan yang sama
Manusia (yang licik) akan memperbesar kesalahan

Semua manusia pernah melakukan kesalahan.
Tinggal memilih,
ingin menjadi manusia seperti apa? 

Monday 1 June 2015

#13 (Tak Tahu) Terima Kasih


Terima kasih.
Dua kata sederhana. Hanya dua kata sederhana yang ternyata begitu sulit untuk diucapkan. Padahal, terima kasih adalah satu dari tiga kata sakti yang memiliki makna yang sangat berarti.

Terima kasih berarti kita menghargai usaha seseorang, menghargai apa yang dilakukannya untuk kita. Terima kasih merupakan bentuk sederhana dari ucapan syukur. Tidak perlu pujian yang berlebihan, hanya dua kata; terima kasih. Bukankah itu  sudah cukup?

Tetapi, entah mengapa menjadi begitu sulit untuk mengucapkan terima kasih. Orang-orang mengabaikannya dengan berbagai alasan, salah satu yang paling sering adalah lupa. Mungkin lupa, karena tidak terbiasa menghargai seseorang, Mungkin lupa, karena sedang tergesa. Atau mungkin (pura-pura) lupa, karena meninggikan ego. Dasar manusia.